Oleh: Eyang Made
Putri Solo melamun di kelas. Dia selalu membayangkan betapa indah dimasa remaja, masih SMA bisa punya banyak teman bahkan pacar. Sekarang pak Radja Denda sudah berbagi perhatian dengan si Kecil yang katanya akan masuk jurusan Bahasa di kelas 11-nya nanti. Tentu pak guru bahasa dan sastra Indonesia itu sangat bergirang hati dapat anak kesayangan sesuai selera. Sudah manis, pandai dan memilih jurusan bahasa. Apalah arti diriku sebagai anak baginya? Penggembira? Mungkin. Dahulu….dia disayang-sayang dan dipuji-puji sebagai cewek tercakep sedunia di Smada tercinta. Enggar nggak direken, Elena apalagi. Semuanya Putri Solo dan Putri Solo. Sekarang, setelah kedatangan si Kecil? Semuanya seperti tinggal kenangan manis. Tidak ada lagi perhatian utuh seperti dulu. Mulai dari kebiasaan makan, boros pulsa dan lain sebagainya yang merupakan kebiasaan jeleknya, pak Radja Denda selalu mengingatkan. Ibadah yang kurang khusuk ataupun belajar yang kurang tekun selalu diingatkan baik melalui obrolan langsung, telepon dan sms. Sekarang?
“Kecil, begitu berartikah engkau bagi pak Radja Denda?” gumam Putri Solo di dalam hati seraya beranjak keluar kelas. rhadap Bapak,” ujar si Ratu Gosip seraya menatap ke arah Putri Solo yang menutupi wajah dengan mukena. Dia baru saja shalat Dhuha, mendahului pak Radja Denda yang biasanya melakukan secara berjamaah di saat istirahat sehingga dia tidak punya kesempatan menikmati jam istirahat. Tumben, cewek setinggi dua meter, tidak lebih dan tidak kurang tersebut, bersikap arif lagi bijaksana. “Jangan kau simpan perasaanmu. Engkau nanti akan sakit sendiri.”
Putri Solo tidak menjawab. Dia menghela nafas. Bening merebak di mata.
“Aku tidak berprasangka, aku dicampakkan begitu beliau punya mainan baru. Tuh, si Kecil dari sepuluh dua, aku jadi nggak punya makna bagi beliau.”
Ratu Gosip tertawa mendengar jawaban naif dari Putri Solo.
“Engkau jangan beranggapan seperti itu, to. Lihat, sekarang yang terkontaminasi tambah banyak saja. Kau lihat, siapa saja yang sekarang suka duduk-duduk di teras bersama beliau? Apakah pasti dengan si Kecil? Ada cowok dan cewek dari kelas duabelas ipa. Yang dari ips nggak ada. Yang dari bahasa, malah satu kelas ikut semua. Beliau nggak berubah, hanya kau saja suka gedhe rasa.”
“Masa?” Putri Solo seperti tidak percaya mendengar perkataan si Ratu Gosip.
“Kau sekarang nggak ada gurunya sampai istirahat kedua, kan? Lihat saja, apa si Kecil selalu bersama bapak kita,” sahut si Ratu Gosip dengan rupa mantap.
“Ok, aku akan disini saja. Mau membuktikan kebenaran yang kurasa. Kalau kau bohong, awas, nggak mbolo di dunia dan akherat.”
Si Ratu Gosip mesam-mesem melihat sahibnya yang mayun. Dia ini nampaknya memahami apa yang sedang dialami sama si Putri Solo.
Tidak lama kemudian, terlihat dua cowok tambun sama tertawa-tawa menuju ke teras mushalla. Keduanya sama meledek satu sama lain. Akan tetapi suasananya ya akrab.
“Pral….kamu seneng ya sekarang, ada banyak teman terkontaminasi sama ikut shalat Dhuha,” ujar si tambun yang biasa kita panggil dengan nama Mr Romans. Ucapan yang ditujukan kepada sesama manusia tambun, Kopral jabrik. “Sepertinya mereka akan memperoleh pencerahan atas segala permasalahan yang dihadapi.”
“Semoga Allah senantiasa memberikan yang terbaik kepada sahabat-sahabat kita,” sahut si Kopral dengan rupa takdzim. “Bapak kita nampaknya semakin berubah, dan terus berusaha memberi perhatian kepada kita yang terkontaminasi ini.”
“Dan semoga yang terkontaminasi semakin terkontaminasi,” sahut Mr Romans dengan rupa takdzim pula.
Si Kopral melotot matanya mendengar ucapan di Romans.
“Kon kok tega?”
Mr Romans meringis.
“Iya, terkontaminasi nasehatnya pak Radja Denda, sehingga kita bisa semakin khusuk beribadah dan semakin tekun belajar,” sahutnya dengan nada enteng.
Si Kopral meringis mendengar ucapan sohibnya itu. Digaruk-garuknya rambut pendek yang jarang dikramas itu.
“Iya….ya, kalau kita nggak terkontaminasi omongan pak Radja Denda, tentu kita nggak akan ada disini,” ujarnya dengan meringis-ringis dengan mata melongok kesana kemari. “Lho, si Putri kemana kok nggak pernah menongolkan batang hidungnya ya? Dengar-dengar kabar, dia tambah manis saja.”
“Lha di kelas kamu apa nggak pernah melihat?” tanya mr Romans dengan rupa seperti penuh tanda tanya.
“Nggak. Dia ngilang ‘kali.”
Tidak lama kemudian muncul siswa dari kelas XII IPA6 dan IPA4. Wajah mereka nampak semringah ketika datang. Begitu melihat mereka, si Kopral menyeletuk.
“Her, kamu terkontaminasi akut ya, kok kumus-kumus?”
Si Heri menggaruk-garuk kepala. Sepertinya dia pantes banget kalau meniru si Kopral kalau dilihat dari Babat sana.
“Kaya tahu saja.”
Si Kopral menyengir.
Putri Solo yang berada di dalam mushalla, matanya tajam mengawasi siapa saja yang datang. Terutama ceweknya, kan ada yang bikin boring. Masa dia gagal jatuh cinta, eh, bapak kesayangan kok mau diembat cewek kecil. Siapa yang nggak nelangsa. Udah merana tiada tara karena terkena adzab cinta, eh bertambah nelangsa karena bapak ketemu gedhenya udah punya anak kesayangan baru. Akan tetapi yang mana? Sampai shalat Dhuha bersama usai dan mereka sama-sama duduk di teras mushala, si Kecil belum juga nongol batang hidungnya.
“Gimana to Pak, dapat perhatian yang baik dan benar dari seorang cowok?” terdengar suara ngalem yang membuat hati si Putri berkesiur.
“Kita harus mampu menunjukkan jati diri kita,” terdengar suara pak Raja Denda seperti biasanya, sareh. “Jangan sampai kita menyamakan cowok or cewek yang kita cinta sama seperti ortu kita. Bahaya.”
“Wah….nggak boleh menyamakan sama ortu?” kembali terdengar suara si cewek, agak tertahan. Sepertinya ada sesuatu yang menusuk di perasaannya.
Pak Raja Denda mengangguk tegas.
“Ada dampak psikhis kalau sampai terjadi.”
Walau nggak nyaut, Putri Solo berusaha menatap ke arah cewek yang berbicara. Salah satu cewek ipa yang nggak diajar pak Raja Denda. Aman. Asal bukan si kecil saja. Berabe kalau si kecil itu punya cowok idaman identik sama ortu. Bisa-bisa bapak ketemu gedhenya kena embat sungguhan dan dia sukses untuk merana kali kedua. Akan tetapi dia sendiri tiba-tiba berdesir ketika memikirkan, pasangan hidupnya kelak harus ada kemiripan sama ortu. Lhoh? Dia pun tercenung seketika ketika teringat yang satu itu. Bukankah pak Raja Denda memiliki kemiripan dengan cowok yang selalu dibayangkan menjadi pasangan hidupnya. Astaghfirullah, bukankah yang disebutkan bapak ketemu gedhenya adalah dirinya sendiri?
Pak Raja Denda menyindirnya!
Bukankah dia jatuh cinta sama cowok yang ditolak karena mirip….?
Putri Solo merasa terpukul batinnya mendengar perkataan pak Raja Denda. Walau tidak ditujukan kepadanya. Akan tetapi, bukankah dia mendengarnya? Dengan demikian, bukankah dirinya yang dituju? Bukankah dia sudah terkontaminasi cinta sedemikian parahnya sampai-sampai kalau memilih cowok harus ada kemiripan sama ortunya. Dan hal yang demikian dilarang pula oleh guru yang lebih suka tidur di teras mushalla daripada mengajar itu bahkan disampaikan di depan banyak anak. Mau dibawa kemana wajahnya?
Ingin rasanya dia mengirim sms kepada guru yang suka menyindirnya itu. Guru yang suka mengganggu tidurnya dengan sms dan miscal. Padahal jam tiga dinihari itu enak-enaknya tidur end bermimpi ketemu cowok pujaan. Eh, dikirimi sms nggak tahajud ta? Guru itu apa tahajud kok berani-beraninya menyuruh tahajud. Miscal juga. Untung aku sudah siap jawaban. Ringkas, singkat dan jelas, ya Pak. Walau dia tidur lagi tanpa dapat melanjutkan mimpinya.
Pada saat itu, tanpa sepengetahuan Putri Solo, di depan pak Radja Denda sudah ada cewek rada-rada mungil dengan wajah manis banget walau nggak diberi gula. Duduk bersimpuh di depan guru itu, dan membelakangi Putri Solo yang lagi asyik dengan dirinya sendiri.
“Bapak, apakah aku bisa berubah sabar, tabah dan tawakal di dalam menghadapi kenyataan sehari-hari,” terdengar cewek rada-rada mungil tetapi manisnya minta ampun karena bisa mengalahkan gula di dalam diri pak Radja Denda (eh…..masa?) dengan nada suara lembut berkata. “Sepertinya sulit sekali menghadapinya.”
“Allah Subhanahu Wataala pasti akan memberi pertolongan,” sahut pak Radja Denda seraya mengerutkan kening menghadapi perkataan si Kecil namun muanis. “Apalagi kalau kita mau menyisihkan uang saku kita untuk bersedekah dan infaq, shalat tepat pada waktunya, terus mau salat sunat terutama qabliyah, tahajud dan dhuha. Lha kadang-kadang kalau kusms malah jengkel nggak dibalas kalaupun membalas paling ya pak, terus tidur lagi. Sikap seperti itu apa bisa membuat doa kita terkabul?”
Si Kecil menundukkan kepala. Terlebih yang mengintip dari dalam mushalla. Oh, dia kok tahu kalau aku membalas sms kemudian tidur lagi. Apa guru itu punya mata dimana-mana kok bisa mengetahui segala perilakunya? Eh, itukah si Kecil yang menjadikannya tersisih? Kaya apa sih rupanya kok nggak bisa dilihat dari sini? Matanya segera mengeliar hendak melihat lebih jelas seperti apa rupa si Kecil yang konon dari X.2 itu.
“Ya Bapak, saya akan berusaha,” terdengar suara si Kecil sepertinya begitu takzim. Nggak seperti dirinya yang suka aleman. Eh, kok cewek itu sudah sungkem. Kok cepat banget kalau mengadakan pertemuan?
“Oke, semoga engkau bisa berubah seperti yang kau harapkan, dan pastilah menjadi idaman orang tua memiliki anak yang shalikhah dan mampu mendirikan sikap sabar, tabah dan tawakal. Silakan ke wakasek kesiswaan dan kepala sekolah untuk menyelesaikan proposalmu.”
“Ya Bapak,” si Kecil berlalu.
Putri Solo menggaruk-garuk kepala. Sialan, si Kecil terus membelakanginya. Sama sekali nggak menoleh ke arahnya. Meninggalkan pak Radja Denda langsung ke ruang guru lewat depan. Kalau lewat belakang, hm, aku pasti akan dapat melihat bagaimana rupanya.
Pak Radja Denda terlihat menyulut rokoknya kemudian mengenakan sepatu.
“Anakku, janganlah engkau dipermainkan perasaanmu. Permainan itulah yang bisa membuat nila setitik akan rusak susu sebelanga,” ujar pak Radja Denda seraya menoleh ke arah Putri Solo yang terkaget-kaget.
“Bapak tahu kalau aku disini, berarti ucapannya ditujukan pula padaku,” gumam Putri Solo. Dan seperti baru tersadar, dia segera berlari keluar, mengenakan sepatu. Saat ini jam pelajaran bahasa Indonesia. Terlambat jelas mentartilkan shalawat nariyah. Padahal hari ini dia sama sekali nggak hafal. Lupa semua. Wah…..
Putri Solo tergesa-gesa masuk kelas. Dia malu kalau diketahui hari ini lupa shalawat nariyah, padahal suaranya dikenal sedemikian merdu kalau. Begitu tiba di kelas, dia melenggong. Teman-temannya sama santai. Tidak ada pak Radja Denda, tidak ada siapa-siapa.
“Pak Radja Denda tadi menghadap kepala sekolah dengan cewek kecil nan manis,” terdengar temannya memberitahu. “Biasanya kalau ada tugas, beliau selalu bersamamu. Sekarang kau dicampakkan ya?”
Putri Solo hanya diam.
Membeku.
Si Kecil benar-benar telah merebut pak Radja Denda, bapak kesayanganku.
Nelangsa.
Melihat Putri Solo terlihat nelangsa, temannya bukannya diam. Malah kian membuat hati nelangsa.
“Putri, kakakku dulu katanya juga kesayangan pak Radja Denda, eh, begitu dapat cewek baru, dia langsung diabaikan,” kata temannya dengan rupa biasa.
“Astaghfirullah….,” tiba-tiba Putri Solo beristighfar. Dia segera berlari, kembali ke mushalla, ke tempat wudhu. Mengambil air wudhu, terus membaca Alquran. Tiba-tiba saja dia ingat tembang tamba ati.
Akan tetapi reaksi temannya tadi sungguh berbeda dan sungguh tidak terduga. Dia segera berbisik kepada temannya.
“Kasihan ya, gadis secakep dia kok malah mencintai duda tua, ompong pula,” katanya dengan rupa yakin.
“Kamu jangan seperti itu ah,” sahut teman yang diajak berbicara. “Bagaimana kalau hal itu terjadi padamu?”
Temannya Putri Solo yang tadi diajak berbicara, langsung terdiam.
Putri Solo memasuki mushalla. Mengambil Alquran terus dibaca dengan lirih. Dia berusaha untuk dapat merenungi makna dari ayat suci yang dibaca. Dia menepiskan bayang pak Radja Denda yang selama dia hidup di Smada mengukir kenangan manis di dalam dirinya. Selalu membimbingnya ke arah jalan kebenaran.
Ada bening merebak ketika dia membaca pada salah satu ayat mengenai pertolongan Allah yang senantiasa diberikan pada orang yang senantiasa mendirikan kesabaran. Orang yang sabar tidak akan menyesal selama hidupnya. Ya Allah, apakah aku termasuk umat-Mu yang tidak punya kesabaran?
“Bapak, mengapa aku selalu mengharapkan yang lebih darimu sementara kalau engkau meminta aku jarang menuruti. Anak seperti apakah aku ini?” desah Putri Solo seperti memperoleh setetes embun di pagi hari setelah membaca surat-surat pendek dari juzz Amma. “Tidak salah kalau engkau beralih perhatian. Tidak salah. Aku yang salah.”
Tanpa sadar, Putri menangkup telapak tangan ke wajah eloknya. Dia seperti dibebani dosa sekian banyaknya dikarenakan dia sering tidak menuruti nasehat pak Radja Denda. Padahal dia sadar kalau lelaki itu begitu menyayangi dirinya tanpa berharap imbalan apapun darinya. Hanya dari Allah berharap mendapat imbalan.
“Bapaak…..maafkan aku,” desah Putri Solo.
“Aku selalu memaafkan dirimu, anakku. Apapun kesalahanmu,” terdengar suara pak Radja Denda menyentakkan dirinya. “Bapak juga dimaafkan yah? Orang tua kan banyak salahnya dan suka nggak nyadar kalau berbuat salah.”
“Iya…..Bapak,” sahut Putri Solo dengan mata merebakkan bening. Dan dia melihat ada sosok mungil di belakang pak radja Denda, si Kecil yang membuat hatinya panas bukan main. Akan tetapi ternyata setelah dia membaca juz Amma, perasaannya menjadi jernih. Tidak ada hati luka lagi.
“Kecil…..,” tegur Putri Solo. “Maafkan aku ya.”
“Mbak nggak salah, kok,” sahut si Kecil dengan tersenyum. “Aku yang salah mengapa tidak memberitahu Mbak kalau aku diutus bapak untuk membuat proposal workshop open source sehingga mbak sampai seperti ini.”
“Opensource itu makanan ya pak. Apa pakai sauce?” terdengar suara aleman si Putri Solo yang nampaknya kembali ke porsi semula. Ngualem pol sama pak Radja Denda.
“Kamu mau ta? Habis shalat Dzuhur nanti kubelikan baksonya,” jawab pak Radja Denda.
Si Kecil kelihatan bingung mendengar pembicaraan dua makhluk antik itu. Gak nyambung. Maklum dia kan ketularan Enggar, kalau diajak ngomong sama manusia ajaib itu suka nggak nyambung. Akan tetapi nyadar, kalau disayang banget.
Usai shalat Dzuhur yang diimami pak Radja Denda, benar saja ada penjual bakso di depan mushalla. Penjualnya ikut shalat pula. Dan berseri ketika pak Radja Denda memesan beberapa mangkok.
“Bapak bancakan ta?” terdengar si Kecil bertanya diiringi suara culunnya.
“Tidak anakku. Aku syukuran. Bersyukur atas rejeki yang senantiasa diberikan Allah Subhanahuwataala. Luar biasa rejeki dari-Nya.”
“Rejeki apa, Bapak?” si Kecil masih juga bertanya.
“Rahasia Cinta.”
“Gak nyambung,” sahut si Kecil.
“Sedikit-sedikit kok gak nyambung, kaya Enggar saja,” terdengar suara lembut menyahuti ucapan si Kecil.
Mr Romans, Kopral Jabrik dan Ratu Gosip diikuti Enggar dan makhluk terkontaminasi sama beramai-ramai memesan bakso. Mereka sama bersyukur bahwasanya di terik matahari setelah shalat Dzuhur berjamaah mendapat rejeki dari Allah berupa traktiran bakso. Lumayan bisa menjadi penahan lapar sebelum mengikuti pelajaran yang kurang tiga jam pelajaran.
“Rahasia cinta itu apa sih, Pak?” tanya siswa kelas XII IPA dengan rupa tiba-tiba menjadi sedemikian culunnya. “Beri penjelasan pada kami.”
Pak Radja Denda tersenyum.
“Rahasia cinta ada pada diri sendiri dan dipasrahkan semua kepada Allah.”
“Bapaakkk……gak nyambung!” sahut mereka seperti koor.
“Kalau begitu, mari kita membaca basmallah, dan kita nikmati bakso ini. Semoga rahasia cinta menjadi rahasia Allah semata.”
Semua diam tiba-tiba. Hanya terdengar bunyi mangkok dan sendok yang berpadu. Dan ini bukan rahasia cinta. He….he….he.
Semoga Jumpa di Lain Cerita.
Wassalam.