oleh: Eyang Made
Thulalieth, Denies Pc, Novie dan si Mungil dari XIIIPA1 sama melenggong menatap ke arah pak Radja Denda, Mr Romans, Kopral Jabrik dan Putri Solo sedang melaksanakan ritual ajaib di bagian belakang masjid Al Arief. Tanda tanya sama menyembul di benak makhluk tulalit dari kelas tiga ipa tersebut. Ada apa gerangan manusia antik yang tidak lagi punya markas sama khusuk duduk menunduk menghadap kiblat. Tidak ada percakapan padahal sudah jam istirahat dan saatnya bersama-sama mendirikan shalat Dhuha. Tidak shalat Dhuha bersama? Rasanya nggak enak karena tidak hafal doa yang dipanjatkan supaya diberi rejeki dari Allah SWT berupa keselamatan, kebahagian dan keberhasilan di dunia dan di akherat, terutama keberhasilan meraih cita-cita. Ngak shalat rasanya ada sesuatu yang hilang. Wah, gimana ya? Selholhok-lholhoknya pak Radja Denda, dia kan termasuk guru kesayangan (jangan GR, Pak) suka meringis sambil membimbing dan muridnya sama sakit perut kalau sudah kena peringisannya. Habis berpajak, sih kalau murid yang meringis (maklum senep karena uang habis untuk bayar pajak akherat. He….he…he…). dan yang namanya sungkan pasti ada.
“Lieth, kamu yang menyadarkan bapak antik kita, sudah waktunya shalat Dhuha bersama,” terdengar Denis berucap dengan suara disetel sedemikian rupa, bak sound blaster audigy dengan salon delapan kanal. Maunya suara antiknya bisa masuk ke telinga pak Radja Denda. Kan selembut-lembutnya suaranya Denis, kan gelegarnya kayak home theatre begitu lho.
“Lha yang lain?” tanya Thulalieth dengan gayanya yang kaya apa gitu. Lholak-lholok begitu lhoh tapi kan tongkrongannya boleh juga.
“Biarin aja. Kita kan butuhnya sama pak Radja Denda,” sahut Denis.
“Pak Radja Denda, ayo shalat Dhuha,” terdengar suara Thulalieth lembut. “Sudah, Den, tapi kok diam saja, ya?”
“Lha ngomongnya dari sini,” terdengar ketiga cewek berkata nyaris bersamaan. “Mana bisa terdengar lha suaramu nggak kaya speakernya Denis.”
“Soundblaster audigy!” Denis menimpali dengan suara keras.
Eh, pak Radja Denda bangkit dari duduknya. Ke tempat wudhu. Rupanya beliau tersadar mendengar suara khas si Denis. Spontan keempat cewek itu tergesa ke tempat wudhu, berdesakan dengan makhluk hawa dari kelas XII bahasa dan ips yang rupa-rupanya tidak perduli sedang apa pak Radja Denda dan ketiga pengawal antiknya itu. Mungkin hanya keempat cewek itu yang rada-rada perhatian dengan segala perubahan tingkahlaku makhluk antik dari Smada tersebut. Kalau perubahan bisa mendatangkan keberuntungan betapa menyenangkan. Lha kalau sebaliknya? Kan bisa berabe.
Usai shalat Dhuha, keempatnya mengerubung Mr Romans, Kopral Jabrik dan Putri Solo. Sama menanyakan perihal ritual yang dilakukan.
“Kalian melakukan amalan apa? Kami-kami kok nggak diajak?” tanya keempat cewek manis tersebut penuh dilanda penasaran. “Bukankah kami tidak akan menolak kalau diajak melakukan amalan selama tidak bertentangan dengan ajaran agama kita.”
Tumben, kedua makhluk antik bertubuh tambun hanya berdiam diri. Putri Solo yang terlihat tambah cakep saja, merebakkan senyum. Lembut lagi manis banget. Nampak kalau terlalu banyak gulanya.
“Kami kan mau meninggal,” sahut Putri Solo dengan suara tenang. “Hampir dua puluh tahun kami hidup di RC dan masih saja kelas dua, nampaknya hidup kami mulai membosankan. Bahkan, aku sudah sering diistarahatkan.”
“Lhoh…..bukankah hidup mati berada di tangan Allah?”
“Benar, sedangkan hidup kami kan hanya di RC, sementara pak Radja Denda dengan kesibukannya mengasuh Chafidz, kami bertiga akan diistirahatkan selamanya.”
“Tega benar pak Radja Denda mengistirahatkan kalian bertiga. Tapi sampai mati apa nggak?” tanya keempat cewek itu dengan antusias namun bernada tulalit banget. “Masa hanya karena Chafidz yang ngganteng lagi menggemaskan, pak Lholok jadi mengistirahatkan semuanya. Khusus kalian, ke alam abadi, ya?”
Mr Romans, Kopral Jabrik dan Putri Solo sama terdiam. Ketiganya sama sadar bahwasanya kemunculan di bumi Smadala menimbulkan rasa suka dan tidak suka kepada para siswa. Apalagi sejak kepergian Sogol, Blangkon dan beberapa teman-temannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi membuat sedih juga. Tinggal Cuwix Yunior yang mulai hilang kelucuannya. Maklum memasuki kelas tiga eh dua belas jadi rada-rada serius (Kata si Septian Dwi, takut nggak lulus)
Kalau Cuwixnya, kan nggak apa-apa kalau tak lulus UAN. Nah, karena sudah sering dan lama muncul, kebosanan itu pasti ada.
“Berdasarkan pernyataan beliau, Chafidz memang dijadikan alasan untuk mengistirahatkan kami bertiga,” sahut Putri Solo yang terlanjur sayang banget sama pak Radja Denda dan keluarganya. “Dan aku meminta ijin untuk beristirahat selamanya di hati beliau. Eh….malah diam saja.”
Keempat cewek manis itu sama diam. Thulalieth yang merasakan nyaman setiap kali berdekatan dengan cowok antik berpangkat kopral berambut jabrik, merebakkan bening di matanya. Dirasakanya waktu sedemikian cepat berlalu. Dan rasanya, oh, mengapa waktu yang tersisa, tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya? Oh, mengapa?
O, seandainya dia dapat menahan perputaran waktu.
Diliriknya si Kopral yang menundukkan wajahnya. Manusia antik bertubuh tambun itu sudah menyedot simpatinya dari sudut nurani yang paling dalam. Sikap culun dan konyolnya. Kemudian, senantiasa taat pada bapak ibu guru dan tidak pernah sekali saja melanggar tata tertib sekolah. Senantiasa ikut shalat berjamaah pun mengaji Al Quran sehari sembilan puluh sembilan ayat. Adakah pemuda seperti si Kopral? Rasanya kok belum pernah ditemuinya.
Bagi Thulalieth, si Kopral sosok yang sempurna.
Dan membutakan mata hatinya.
“Pral, apakah engkau juga akan diistirahatkan selama-lamanya?” tanyanya dengan suara pilu. “Tidak ada dispensasi sama sekali?”
Kopral Jabrik yang mendengar ucapan bernada pilu dari Thulalieth menatap wajah si gadis. Selama dia hidup di alam RC belum pernah dia menerima simpati nan menyentuh hati. Hatinya bergetar, jantung berdetak. Thulalieth, baru kali ini kusadari betapa manis wajahmu. Teramat sempurna sosokmu. Betapa konyol, selama mengenal, tak pernah kusadari kalau engkau memiliki perhatian khusus dan…. apakah kesempatan terakhir di dalam hidupnya, tidak dimanfaatkan untuk menikmati kemanisan masa remaja yang penuh romantika? Dan bukankah Thulalieth bisa memberikan segala-galanya untuk akhir kehidupan yang bahagia? Salahkah kalau dia jatuh cinta sebagaimana manusia biasa? Tidak hanya sekedar di angan akan tetapi pada suatu realita manis walau nanti dia harus menabung dosa? (bukankah berkhalwat dengan lain jenis itu berdosa?)
Pak Radja Denda nampaknya sudah bulat dengan keputusannya untuk segera meninggal bersama makhluk antik dari alam RC. Dia ingin bertetirah, bersantai bersama keluarga. Tidak ingin lagi ribet mengurusi dunia per-RC-an yang penuh dengan gosip, intimidasi dan pertagihan yang bisa membuat pusing kepala. Ini, gara-gara Cuwix dan kawan-kawan yang malas membayar RC. Kalau Cuwix nggak malas……ya. (Maksudnya Cuwix Yunior yang sekarang ngendon di XIIIPS1 itu lhoh)
Dan entah mengapa pada hari-hari selanjutnya, Thulalieth menjadi begitu lengket bersama manusia antik bernama Kopral Jabrik. Tidak perduli jadwal shalat berjamaah sudah dilakoni. Maunya nambah sekalian lima waktu, terus berjamaah. Dia rela kok kalau disuruh tidur di Made Karyo VIII/03 asal bisa bersama si Jabrik. Bahkan satu kelas di kelas dua, dia juga rela. Asal selalu bersama.
“Lieth, ngapain kamu kok jadi begitu berubah hanya karena makhluk antik bertubuh tambun itu?” tanya Denis, Novie dan si Manis yang nggak sreg kalau sochib terlholak-lholhoknya jatuh cinta sama manusia antik yang nggak karuan juntrungnya. “Apakah tidak ada cowok lain yang lebih pas buat kamu?”
“Only Kopral Jabrik in my heart,” jawab Thulalieth dengan suara mantap. “Nothin’ else matter.”
“Si Thulalieth ngomong apa?” tanya Novie dengan rupa bego.
“Nggak tahu,” sahut si Denis yang sebangku dengan Thulalieth menampakkan wajah cemas. “Pak Eddy perlu diberitahu kalau Thulalieth layak di RSJ-kan.”
Ketiga cewek manis itu nampaknya setuju melaporkan keadaan Thulalieth ke pihak yang berwenang. Maunya ke pak Radja Denda, berhubung pak Radja Denda masih mencuci popoknya Chafidz, jadi urung. Ke pak Narno yang menjadi BK mereka, akhirnya melapor. Kalau ke pak Eddy, jelas nggak berani.
“Apaaa? Thulalieth jatuh cinta sama si Kopral Jabrik yang abadi di kelas dua itu?” tanya beliau dengan rupa kaget. “Apa matane Thulalieth merem, kok gelem karo arek jemblung iku?”
Ketiga makhluk manis itu serempak mengangguk.
“Wah…..Thulalieth harus dibimbing secara khusus supaya sadar bahwa kalau dia mengambil keputusan yang salah. Teramat salah!” pekik pak Narno dengan suara menggebu, nyaris ketiga cewek manis XIIIPA1 terlonjak dari tempatnya.
Dan Thulalieth pun akhirnya terkena petuah dari pak Narno dimana saja berada. Kemana saja dia bersembunyi sepertinya guru BK yang satu ini tahu. Bahkan tidak perduli tempat. Di pos satpam di hari Selasa jam 14.30 tanggal 15 Agustus 2006 gadis manis itu dinasehati habis-habisan. Astaganya, ada pak Radja Denda pula.
“Ndhuk…..eman-emanlah dirimu, mengapa bisa sampai jatuh cinta sama manusia antik seperti itu,” ujar pak Narno berpetuah. “Mbok ya’a milih sing rada pakra.”
Wajah Thulalieth berubah mendengar ucapan pak Narno. Apalagi dilihatnya pak Radja Denda cengar-cengir mendengar perkataan guru BK tersebut. Paling pak Radja Denda yang membuat laporan tentang hubungannya dengan si Kopral Jabrik. Dan mau tidak mau didengarkannya nasehat dan petuah dari guru BK-nya itu.
“Engkau memilih pasangan nggak pas. Kalau memilih mbok ya’a berdasarkan ajaran agama yang menyatakan kalau menentukan pasangan berdasarkan agama, rupa harta dan keturunan. Kalau orang Jawa, berdasarkan pada bobot, bibit dan bebet. Kalau si Lholok berjuluk Pendekar Radja Denda ini harus mendasarkan pula pada aspek biologis dan psikologisnya juga. Tahu?” ujar pak Narno dengan suara menggebu.
“Eh, Cak, ngomongmu tumben kok rada ilmiah?” celetuk pak Radja Denda yang asyik dengan bentoel birunya. “Apa memilih pasangan bisa dibuat karya ilmiah?”
“Dasar lholok. Nasehatku supaya meyakinkan kebenarannya. Tahu? Jangan mentang-mentang menjadi pembina karya ilmiah terlholok sedunia. Ngerti?”
Pak Radja Denda hanya diam mendengar ucapan pak Narno. Dan hanya menjadi pendengar yang baik. Dan nampaknya ucapan pak Narno mempengaruhi Thulalieth. Nampak kalau dia seperti bersedih ketika berkencan dengan si Kopral. Bahkan malam hari ketika dia kerja bakti bersama teman-temannya dia suka ngambek setiap kali digoda sama pak Radja Denda yang menunggui.
“Nggak usah nggoda. Aku lagi sumpek. Tahu?”
Pak Radja Denda hanya tertawa. Kelihatan senang, maklum permaisurinya yang menjadi ibu kandungnya Chafidz ikut menyambangi. Huh, pak Radja Denda senang, aku sumpeg! Omel Thulalieth di dalam hati. Dia sirik benar melihat kebahagiaan guru bahasa Indonesianya yang terlholhok sedunia itu. Sudah punya isteri cakep anaknya ngangeni pula. Oh, lengkaplah kebahagiaan pak Radja Denda yang diajaknya upacara 17 Agustus memilih menunggui anak isterinya. O, lengkap pula kesumpekannya.
Perasaan Thulalieth benar-benar bercampur aduk. Gara-gara nasehat pak Narno yang menyatakan kalau dia salah pilih dan salah langkah memilih kopral Jabrik sebagai pacar. Katanya harus begini dan harus begitu. Dan pak Radja Denda yang biasanya punya kiat jitu di dalam menyeselesaikan permasalahan, hanya mesam-mesem dan menggoda saja. Huh kaya nggak pernah muda dan mentang-mentang punya permaisuri cakep alumnus manusia paskibra yang begitu……
“Huh……” dihantamnya punggung pak Radja Denda dengan rasa bercampur aduk. Ada mangkel plus sirik melihat kebahagiaan guru terlholhoknya. Ada juga rasa takut kalau guru antik yang satu ini tidak mau membantu mengatasi permasalahannya. Selholhok-lholhoknya guru bahasa Indonesia yang suka mbokep ini, dia amat sayang. Suka dengan omongannya yang dipelesetkan, seperti kata mbokep, yang maknanya sudah di luar makna yang sebenarnya. Dan cara menasehatinya yang menggunakan lambang tertentu sehingga walau dia tahu apa yang dikehendaki, tidak membuatnya sumpeg seperti kalau menerima nasehat pak Narno. Dan ngerti nggak ngerti akan apa yang dinasehatkan, ucapan khas tulalitnya pasti terlontar. Apa, Pak?
“Oalah Thulalieth, mengapa sumpek kok nggak dibagi-bagikan?” ujar pak Radja Denda yang sepertinya nggak ngefek kena hantamannya.
“Nih, sumpegnya kubagikan kepadamu, Pak,” ujar Thulalieth kembali menghantam punggung pak Radja Denda sekuat-kuatnya. Terdengar suara gedebuk sampai teman-temannya mendelong menyaksikan keberaniannya menghantam sepenuh tenaga punggung pak Anwari….eh, keliru, pak Radja Denda. Semua sama terdiam. Takut kalau guru itu marah atas perlakuan teman yang lagi senewen itu.
“Ayoh….hantam sekuat-kuatmu. Curahkan semua emosimu. Tumpahkan semua kejengkelanmu! Ayo. Nggak apa-apa.”
Bukannya memukul. Thulaliet malah seperti mau mewek.
“Lho….mau nangis lho Pak. Ayo diapakan sama Bapak,” terdengar suara Denis yang melihat wajah cakep teman sebangkunya itu benar-benar mau menangis. Ada rasa kasihan di dalam benaknya, apadaya dia tidak bisa apa-apa. “Besok upacaranya jam berapa, Lieth? Bukankah engkau seksi acaranya?”
“Jam tujuh tepat,” sahut Thulalieth.
“Jam delapan,” sahut pak Radja Denda.
Thulalieth melotot ke arah pak Radja Denda yang akan menggoda.
“Maksudku, aku bangun jam delapan. Nggak mungkin ikut upacara.”
Dia pun mau memukul lagi akan tetapi guru terlholhok itu sudah ngacir entah kemana. Tidak nongol lagi sampai dia pulang ke rumah diantar sama si Kopral Jabrik yang langsung mendelep terkena pajak kencan Rp. 7.500. dan sulit tidur karena terus terbayang-bayang dengan semua peristiwa yang terjadi.
Satu hal yang terus melela di benaknya adalah ucapan dari pak Radja Denda kepadanya.
“Ingatlah wahai Thulalieth, salah satu penyebab kegagalan di dalam meraih cita-cita adalah cowok alias berpacaran!”
O, cinta deritanya tiada dua.
Oh.
Oh.
Oh.
Thulalieth bermimpi.
Cinta tidak akan menjadi penghambat di dalam meraih cita-cita. Dia diterima di Akademi Kepolisian. Diterima di STAN. Diterima PMDK dan menembus SPMB jurusan informatika. Indahnya. Ngimpi!
Pak Radja Denda, omonganmu mana kureken? Toh UAN aku dapat nilai rata-rata 9,9 dan bisa masuk semua perguruan tinggi. Pak Narno, nasehatmu mana kuperhatikan. Aku bisa berpacaran dengan leluasa dan begitu mesra. Dia penuh perhatian padaku. Penuh cinta dan penuh……ah, gedubrak. Thulalieth membuka mata. Rupanya dia terjatuh dari tempat tidurnya. Hanya mimpi rupanya.
Dan dia tertegun.
Ada suara menerpa telinga.
“Thulalieth, kalau engkau tetap berpacaran berarti engkau memilih kegagalan.”
Suara itu.
Seperti suara pak Narno.
Seperti suara pak Radja Denda.
Seperti……
Thulalieth tidak tahu lagi apa yang terjadi. Semua begitu membingungkan. O, cinta betapa engkau membingungkan. Membuat lupa segala. Kalau lupa shalat?
o.
Thulalieth lupa belum mendirikan shalat Isya. Tertatih-tatih dia ke belakang, mengambil air wudhu. Dan tiba-tiba saja bulu kuduknya sama merinding. Hati degplas dan degplas. Ada apa ini? Ada hantu? Masa hantu mau mengganggu orang yang mau mengambil air wudhu. Masa…..
“Pak Edy….oh, aku takut sekali,” desahnya.
Akhirnya, dia pun mendirikan shalat Isya dengan bulu kuduk terus meremang. Dan di dalam hati (maklum lagi shalat) terus saja menyebut nama pak Eddy. Bapaknya.
Dan sesungguhnya apa yang terjadi?
Catatan
Untuk pembaca baru Mr Romans dan Kopral Jabrik supaya tidak terlalu bingung dengan cerita ini, ada beberapa hal yang perlu dipahami:
a. Tokoh di dalam cerita ini, Mr Romans dan Kopral Jabrik masih kelas dua SMA dan sudah limabelastahun lebih tidak ke kelas tiga. Maunya naik ke kelas tiga, bukankah pengurus inti Rc selalu dari kelas dua (sebelas) kan….
b. Penulisnya sudah bosan membuat, kemungkinan tulisan ini akan diakhiri pada cerita berjudul “Keputusan” dimana tokoh abadi di dalam cerita ini, Mr Romans, Kopral Jabrik dan Putri Solo akan mati dan tidak ada lagi lanjutannya. Yang membuat cerpen sudah bosan lho. Walau yang suka cerita ini masih menginginkan untuk terus ada di RC sebagai ciri khas majalah sekolah kita bolehlah nanti diusulkan pada sidang istimewa RC.
c. Cerita ini didedikasikan untuk pak Sunarno, guru BK, yang di dalam menangani siswa sering bertolak belakang dengan penulis cerita ini akan tetapi membuahkan hasil yang lumayan bagus.
d. Ucapan selamat atas kelahiran Chafidz Pramoedya Anharie, putra bapak Makmunudin Anwari, pembina abadi RC. Semoga menjadi putra yang shalich, berguna bagi agama, orang tua dan nusa bangsa. Dari kru Romansa Cendekia 2005 – 2006.
Thulalieth, Denies Pc, Novie dan si Mungil dari XIIIPA1 sama melenggong menatap ke arah pak Radja Denda, Mr Romans, Kopral Jabrik dan Putri Solo sedang melaksanakan ritual ajaib di bagian belakang masjid Al Arief. Tanda tanya sama menyembul di benak makhluk tulalit dari kelas tiga ipa tersebut. Ada apa gerangan manusia antik yang tidak lagi punya markas sama khusuk duduk menunduk menghadap kiblat. Tidak ada percakapan padahal sudah jam istirahat dan saatnya bersama-sama mendirikan shalat Dhuha. Tidak shalat Dhuha bersama? Rasanya nggak enak karena tidak hafal doa yang dipanjatkan supaya diberi rejeki dari Allah SWT berupa keselamatan, kebahagian dan keberhasilan di dunia dan di akherat, terutama keberhasilan meraih cita-cita. Ngak shalat rasanya ada sesuatu yang hilang. Wah, gimana ya? Selholhok-lholhoknya pak Radja Denda, dia kan termasuk guru kesayangan (jangan GR, Pak) suka meringis sambil membimbing dan muridnya sama sakit perut kalau sudah kena peringisannya. Habis berpajak, sih kalau murid yang meringis (maklum senep karena uang habis untuk bayar pajak akherat. He….he…he…). dan yang namanya sungkan pasti ada.
“Lieth, kamu yang menyadarkan bapak antik kita, sudah waktunya shalat Dhuha bersama,” terdengar Denis berucap dengan suara disetel sedemikian rupa, bak sound blaster audigy dengan salon delapan kanal. Maunya suara antiknya bisa masuk ke telinga pak Radja Denda. Kan selembut-lembutnya suaranya Denis, kan gelegarnya kayak home theatre begitu lho.
“Lha yang lain?” tanya Thulalieth dengan gayanya yang kaya apa gitu. Lholak-lholok begitu lhoh tapi kan tongkrongannya boleh juga.
“Biarin aja. Kita kan butuhnya sama pak Radja Denda,” sahut Denis.
“Pak Radja Denda, ayo shalat Dhuha,” terdengar suara Thulalieth lembut. “Sudah, Den, tapi kok diam saja, ya?”
“Lha ngomongnya dari sini,” terdengar ketiga cewek berkata nyaris bersamaan. “Mana bisa terdengar lha suaramu nggak kaya speakernya Denis.”
“Soundblaster audigy!” Denis menimpali dengan suara keras.
Eh, pak Radja Denda bangkit dari duduknya. Ke tempat wudhu. Rupanya beliau tersadar mendengar suara khas si Denis. Spontan keempat cewek itu tergesa ke tempat wudhu, berdesakan dengan makhluk hawa dari kelas XII bahasa dan ips yang rupa-rupanya tidak perduli sedang apa pak Radja Denda dan ketiga pengawal antiknya itu. Mungkin hanya keempat cewek itu yang rada-rada perhatian dengan segala perubahan tingkahlaku makhluk antik dari Smada tersebut. Kalau perubahan bisa mendatangkan keberuntungan betapa menyenangkan. Lha kalau sebaliknya? Kan bisa berabe.
Usai shalat Dhuha, keempatnya mengerubung Mr Romans, Kopral Jabrik dan Putri Solo. Sama menanyakan perihal ritual yang dilakukan.
“Kalian melakukan amalan apa? Kami-kami kok nggak diajak?” tanya keempat cewek manis tersebut penuh dilanda penasaran. “Bukankah kami tidak akan menolak kalau diajak melakukan amalan selama tidak bertentangan dengan ajaran agama kita.”
Tumben, kedua makhluk antik bertubuh tambun hanya berdiam diri. Putri Solo yang terlihat tambah cakep saja, merebakkan senyum. Lembut lagi manis banget. Nampak kalau terlalu banyak gulanya.
“Kami kan mau meninggal,” sahut Putri Solo dengan suara tenang. “Hampir dua puluh tahun kami hidup di RC dan masih saja kelas dua, nampaknya hidup kami mulai membosankan. Bahkan, aku sudah sering diistarahatkan.”
“Lhoh…..bukankah hidup mati berada di tangan Allah?”
“Benar, sedangkan hidup kami kan hanya di RC, sementara pak Radja Denda dengan kesibukannya mengasuh Chafidz, kami bertiga akan diistirahatkan selamanya.”
“Tega benar pak Radja Denda mengistirahatkan kalian bertiga. Tapi sampai mati apa nggak?” tanya keempat cewek itu dengan antusias namun bernada tulalit banget. “Masa hanya karena Chafidz yang ngganteng lagi menggemaskan, pak Lholok jadi mengistirahatkan semuanya. Khusus kalian, ke alam abadi, ya?”
Mr Romans, Kopral Jabrik dan Putri Solo sama terdiam. Ketiganya sama sadar bahwasanya kemunculan di bumi Smadala menimbulkan rasa suka dan tidak suka kepada para siswa. Apalagi sejak kepergian Sogol, Blangkon dan beberapa teman-temannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi membuat sedih juga. Tinggal Cuwix Yunior yang mulai hilang kelucuannya. Maklum memasuki kelas tiga eh dua belas jadi rada-rada serius (Kata si Septian Dwi, takut nggak lulus)
Kalau Cuwixnya, kan nggak apa-apa kalau tak lulus UAN. Nah, karena sudah sering dan lama muncul, kebosanan itu pasti ada.
“Berdasarkan pernyataan beliau, Chafidz memang dijadikan alasan untuk mengistirahatkan kami bertiga,” sahut Putri Solo yang terlanjur sayang banget sama pak Radja Denda dan keluarganya. “Dan aku meminta ijin untuk beristirahat selamanya di hati beliau. Eh….malah diam saja.”
Keempat cewek manis itu sama diam. Thulalieth yang merasakan nyaman setiap kali berdekatan dengan cowok antik berpangkat kopral berambut jabrik, merebakkan bening di matanya. Dirasakanya waktu sedemikian cepat berlalu. Dan rasanya, oh, mengapa waktu yang tersisa, tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya? Oh, mengapa?
O, seandainya dia dapat menahan perputaran waktu.
Diliriknya si Kopral yang menundukkan wajahnya. Manusia antik bertubuh tambun itu sudah menyedot simpatinya dari sudut nurani yang paling dalam. Sikap culun dan konyolnya. Kemudian, senantiasa taat pada bapak ibu guru dan tidak pernah sekali saja melanggar tata tertib sekolah. Senantiasa ikut shalat berjamaah pun mengaji Al Quran sehari sembilan puluh sembilan ayat. Adakah pemuda seperti si Kopral? Rasanya kok belum pernah ditemuinya.
Bagi Thulalieth, si Kopral sosok yang sempurna.
Dan membutakan mata hatinya.
“Pral, apakah engkau juga akan diistirahatkan selama-lamanya?” tanyanya dengan suara pilu. “Tidak ada dispensasi sama sekali?”
Kopral Jabrik yang mendengar ucapan bernada pilu dari Thulalieth menatap wajah si gadis. Selama dia hidup di alam RC belum pernah dia menerima simpati nan menyentuh hati. Hatinya bergetar, jantung berdetak. Thulalieth, baru kali ini kusadari betapa manis wajahmu. Teramat sempurna sosokmu. Betapa konyol, selama mengenal, tak pernah kusadari kalau engkau memiliki perhatian khusus dan…. apakah kesempatan terakhir di dalam hidupnya, tidak dimanfaatkan untuk menikmati kemanisan masa remaja yang penuh romantika? Dan bukankah Thulalieth bisa memberikan segala-galanya untuk akhir kehidupan yang bahagia? Salahkah kalau dia jatuh cinta sebagaimana manusia biasa? Tidak hanya sekedar di angan akan tetapi pada suatu realita manis walau nanti dia harus menabung dosa? (bukankah berkhalwat dengan lain jenis itu berdosa?)
Pak Radja Denda nampaknya sudah bulat dengan keputusannya untuk segera meninggal bersama makhluk antik dari alam RC. Dia ingin bertetirah, bersantai bersama keluarga. Tidak ingin lagi ribet mengurusi dunia per-RC-an yang penuh dengan gosip, intimidasi dan pertagihan yang bisa membuat pusing kepala. Ini, gara-gara Cuwix dan kawan-kawan yang malas membayar RC. Kalau Cuwix nggak malas……ya. (Maksudnya Cuwix Yunior yang sekarang ngendon di XIIIPS1 itu lhoh)
Dan entah mengapa pada hari-hari selanjutnya, Thulalieth menjadi begitu lengket bersama manusia antik bernama Kopral Jabrik. Tidak perduli jadwal shalat berjamaah sudah dilakoni. Maunya nambah sekalian lima waktu, terus berjamaah. Dia rela kok kalau disuruh tidur di Made Karyo VIII/03 asal bisa bersama si Jabrik. Bahkan satu kelas di kelas dua, dia juga rela. Asal selalu bersama.
“Lieth, ngapain kamu kok jadi begitu berubah hanya karena makhluk antik bertubuh tambun itu?” tanya Denis, Novie dan si Manis yang nggak sreg kalau sochib terlholak-lholhoknya jatuh cinta sama manusia antik yang nggak karuan juntrungnya. “Apakah tidak ada cowok lain yang lebih pas buat kamu?”
“Only Kopral Jabrik in my heart,” jawab Thulalieth dengan suara mantap. “Nothin’ else matter.”
“Si Thulalieth ngomong apa?” tanya Novie dengan rupa bego.
“Nggak tahu,” sahut si Denis yang sebangku dengan Thulalieth menampakkan wajah cemas. “Pak Eddy perlu diberitahu kalau Thulalieth layak di RSJ-kan.”
Ketiga cewek manis itu nampaknya setuju melaporkan keadaan Thulalieth ke pihak yang berwenang. Maunya ke pak Radja Denda, berhubung pak Radja Denda masih mencuci popoknya Chafidz, jadi urung. Ke pak Narno yang menjadi BK mereka, akhirnya melapor. Kalau ke pak Eddy, jelas nggak berani.
“Apaaa? Thulalieth jatuh cinta sama si Kopral Jabrik yang abadi di kelas dua itu?” tanya beliau dengan rupa kaget. “Apa matane Thulalieth merem, kok gelem karo arek jemblung iku?”
Ketiga makhluk manis itu serempak mengangguk.
“Wah…..Thulalieth harus dibimbing secara khusus supaya sadar bahwa kalau dia mengambil keputusan yang salah. Teramat salah!” pekik pak Narno dengan suara menggebu, nyaris ketiga cewek manis XIIIPA1 terlonjak dari tempatnya.
Dan Thulalieth pun akhirnya terkena petuah dari pak Narno dimana saja berada. Kemana saja dia bersembunyi sepertinya guru BK yang satu ini tahu. Bahkan tidak perduli tempat. Di pos satpam di hari Selasa jam 14.30 tanggal 15 Agustus 2006 gadis manis itu dinasehati habis-habisan. Astaganya, ada pak Radja Denda pula.
“Ndhuk…..eman-emanlah dirimu, mengapa bisa sampai jatuh cinta sama manusia antik seperti itu,” ujar pak Narno berpetuah. “Mbok ya’a milih sing rada pakra.”
Wajah Thulalieth berubah mendengar ucapan pak Narno. Apalagi dilihatnya pak Radja Denda cengar-cengir mendengar perkataan guru BK tersebut. Paling pak Radja Denda yang membuat laporan tentang hubungannya dengan si Kopral Jabrik. Dan mau tidak mau didengarkannya nasehat dan petuah dari guru BK-nya itu.
“Engkau memilih pasangan nggak pas. Kalau memilih mbok ya’a berdasarkan ajaran agama yang menyatakan kalau menentukan pasangan berdasarkan agama, rupa harta dan keturunan. Kalau orang Jawa, berdasarkan pada bobot, bibit dan bebet. Kalau si Lholok berjuluk Pendekar Radja Denda ini harus mendasarkan pula pada aspek biologis dan psikologisnya juga. Tahu?” ujar pak Narno dengan suara menggebu.
“Eh, Cak, ngomongmu tumben kok rada ilmiah?” celetuk pak Radja Denda yang asyik dengan bentoel birunya. “Apa memilih pasangan bisa dibuat karya ilmiah?”
“Dasar lholok. Nasehatku supaya meyakinkan kebenarannya. Tahu? Jangan mentang-mentang menjadi pembina karya ilmiah terlholok sedunia. Ngerti?”
Pak Radja Denda hanya diam mendengar ucapan pak Narno. Dan hanya menjadi pendengar yang baik. Dan nampaknya ucapan pak Narno mempengaruhi Thulalieth. Nampak kalau dia seperti bersedih ketika berkencan dengan si Kopral. Bahkan malam hari ketika dia kerja bakti bersama teman-temannya dia suka ngambek setiap kali digoda sama pak Radja Denda yang menunggui.
“Nggak usah nggoda. Aku lagi sumpek. Tahu?”
Pak Radja Denda hanya tertawa. Kelihatan senang, maklum permaisurinya yang menjadi ibu kandungnya Chafidz ikut menyambangi. Huh, pak Radja Denda senang, aku sumpeg! Omel Thulalieth di dalam hati. Dia sirik benar melihat kebahagiaan guru bahasa Indonesianya yang terlholhok sedunia itu. Sudah punya isteri cakep anaknya ngangeni pula. Oh, lengkaplah kebahagiaan pak Radja Denda yang diajaknya upacara 17 Agustus memilih menunggui anak isterinya. O, lengkap pula kesumpekannya.
Perasaan Thulalieth benar-benar bercampur aduk. Gara-gara nasehat pak Narno yang menyatakan kalau dia salah pilih dan salah langkah memilih kopral Jabrik sebagai pacar. Katanya harus begini dan harus begitu. Dan pak Radja Denda yang biasanya punya kiat jitu di dalam menyeselesaikan permasalahan, hanya mesam-mesem dan menggoda saja. Huh kaya nggak pernah muda dan mentang-mentang punya permaisuri cakep alumnus manusia paskibra yang begitu……
“Huh……” dihantamnya punggung pak Radja Denda dengan rasa bercampur aduk. Ada mangkel plus sirik melihat kebahagiaan guru terlholhoknya. Ada juga rasa takut kalau guru antik yang satu ini tidak mau membantu mengatasi permasalahannya. Selholhok-lholhoknya guru bahasa Indonesia yang suka mbokep ini, dia amat sayang. Suka dengan omongannya yang dipelesetkan, seperti kata mbokep, yang maknanya sudah di luar makna yang sebenarnya. Dan cara menasehatinya yang menggunakan lambang tertentu sehingga walau dia tahu apa yang dikehendaki, tidak membuatnya sumpeg seperti kalau menerima nasehat pak Narno. Dan ngerti nggak ngerti akan apa yang dinasehatkan, ucapan khas tulalitnya pasti terlontar. Apa, Pak?
“Oalah Thulalieth, mengapa sumpek kok nggak dibagi-bagikan?” ujar pak Radja Denda yang sepertinya nggak ngefek kena hantamannya.
“Nih, sumpegnya kubagikan kepadamu, Pak,” ujar Thulalieth kembali menghantam punggung pak Radja Denda sekuat-kuatnya. Terdengar suara gedebuk sampai teman-temannya mendelong menyaksikan keberaniannya menghantam sepenuh tenaga punggung pak Anwari….eh, keliru, pak Radja Denda. Semua sama terdiam. Takut kalau guru itu marah atas perlakuan teman yang lagi senewen itu.
“Ayoh….hantam sekuat-kuatmu. Curahkan semua emosimu. Tumpahkan semua kejengkelanmu! Ayo. Nggak apa-apa.”
Bukannya memukul. Thulaliet malah seperti mau mewek.
“Lho….mau nangis lho Pak. Ayo diapakan sama Bapak,” terdengar suara Denis yang melihat wajah cakep teman sebangkunya itu benar-benar mau menangis. Ada rasa kasihan di dalam benaknya, apadaya dia tidak bisa apa-apa. “Besok upacaranya jam berapa, Lieth? Bukankah engkau seksi acaranya?”
“Jam tujuh tepat,” sahut Thulalieth.
“Jam delapan,” sahut pak Radja Denda.
Thulalieth melotot ke arah pak Radja Denda yang akan menggoda.
“Maksudku, aku bangun jam delapan. Nggak mungkin ikut upacara.”
Dia pun mau memukul lagi akan tetapi guru terlholhok itu sudah ngacir entah kemana. Tidak nongol lagi sampai dia pulang ke rumah diantar sama si Kopral Jabrik yang langsung mendelep terkena pajak kencan Rp. 7.500. dan sulit tidur karena terus terbayang-bayang dengan semua peristiwa yang terjadi.
Satu hal yang terus melela di benaknya adalah ucapan dari pak Radja Denda kepadanya.
“Ingatlah wahai Thulalieth, salah satu penyebab kegagalan di dalam meraih cita-cita adalah cowok alias berpacaran!”
O, cinta deritanya tiada dua.
Oh.
Oh.
Oh.
Thulalieth bermimpi.
Cinta tidak akan menjadi penghambat di dalam meraih cita-cita. Dia diterima di Akademi Kepolisian. Diterima di STAN. Diterima PMDK dan menembus SPMB jurusan informatika. Indahnya. Ngimpi!
Pak Radja Denda, omonganmu mana kureken? Toh UAN aku dapat nilai rata-rata 9,9 dan bisa masuk semua perguruan tinggi. Pak Narno, nasehatmu mana kuperhatikan. Aku bisa berpacaran dengan leluasa dan begitu mesra. Dia penuh perhatian padaku. Penuh cinta dan penuh……ah, gedubrak. Thulalieth membuka mata. Rupanya dia terjatuh dari tempat tidurnya. Hanya mimpi rupanya.
Dan dia tertegun.
Ada suara menerpa telinga.
“Thulalieth, kalau engkau tetap berpacaran berarti engkau memilih kegagalan.”
Suara itu.
Seperti suara pak Narno.
Seperti suara pak Radja Denda.
Seperti……
Thulalieth tidak tahu lagi apa yang terjadi. Semua begitu membingungkan. O, cinta betapa engkau membingungkan. Membuat lupa segala. Kalau lupa shalat?
o.
Thulalieth lupa belum mendirikan shalat Isya. Tertatih-tatih dia ke belakang, mengambil air wudhu. Dan tiba-tiba saja bulu kuduknya sama merinding. Hati degplas dan degplas. Ada apa ini? Ada hantu? Masa hantu mau mengganggu orang yang mau mengambil air wudhu. Masa…..
“Pak Edy….oh, aku takut sekali,” desahnya.
Akhirnya, dia pun mendirikan shalat Isya dengan bulu kuduk terus meremang. Dan di dalam hati (maklum lagi shalat) terus saja menyebut nama pak Eddy. Bapaknya.
Dan sesungguhnya apa yang terjadi?
Catatan
Untuk pembaca baru Mr Romans dan Kopral Jabrik supaya tidak terlalu bingung dengan cerita ini, ada beberapa hal yang perlu dipahami:
a. Tokoh di dalam cerita ini, Mr Romans dan Kopral Jabrik masih kelas dua SMA dan sudah limabelastahun lebih tidak ke kelas tiga. Maunya naik ke kelas tiga, bukankah pengurus inti Rc selalu dari kelas dua (sebelas) kan….
b. Penulisnya sudah bosan membuat, kemungkinan tulisan ini akan diakhiri pada cerita berjudul “Keputusan” dimana tokoh abadi di dalam cerita ini, Mr Romans, Kopral Jabrik dan Putri Solo akan mati dan tidak ada lagi lanjutannya. Yang membuat cerpen sudah bosan lho. Walau yang suka cerita ini masih menginginkan untuk terus ada di RC sebagai ciri khas majalah sekolah kita bolehlah nanti diusulkan pada sidang istimewa RC.
c. Cerita ini didedikasikan untuk pak Sunarno, guru BK, yang di dalam menangani siswa sering bertolak belakang dengan penulis cerita ini akan tetapi membuahkan hasil yang lumayan bagus.
d. Ucapan selamat atas kelahiran Chafidz Pramoedya Anharie, putra bapak Makmunudin Anwari, pembina abadi RC. Semoga menjadi putra yang shalich, berguna bagi agama, orang tua dan nusa bangsa. Dari kru Romansa Cendekia 2005 – 2006.